Rabu, 10 Oktober 2012

Pituah Minang

Kulik bajagek tau batang
Batang bakunci tau akhie
Urek tatunggang ateh bumi
Pucuaknyo nyato bahantaran
Batangnyo sandi andiko
Dahannyo cupak jo gantang
Rantiangnyo babarih balabeh
Dimano ko alua jo patuikan
Ingek dek kaji nan paratamo

Mancari Bilalang




.: Mancari Bilalang :.
.: Mancari Bilalang :.
Kanagarian Sisawah – Sijunjung.
Ketika musim panen selesai, petani-petani di nagari kami melakukan suatu tradisi unik, yaitu mencari belalang ketika malam tiba. Belalang ini bisa dijadikan lauk yang gurih untuk dinikmati keluarga keesokan harinya. Salah satu kuliner unik di Sisawah adalah sambal randang bilalang, yang tahan disimpan selama sebulan & kerap dijadikan lauk pauk pelajar yang menuntut ilmu di kota atau untuk dunsanak yang bermukim diperantauan.

Senin, 08 Oktober 2012

Sisawah

Berkegiatan di alam bebas akan memberikan kesenangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin melakukannya. Kesenangan tersebut didapat dari keindahan pemandangan dan tantangan yang berhasil kita lewati pada setiap medan petualangan tersebut. Beberapa waktu yang lalu penulis kembali membuktikan dengan merasakan serunya melintasi medan petualangan perut bumi di Sisawah, Kabupaten Sawahlunto Sijunjuang. Petualangan di kedalaman perut bumi ini ternyata belum terlalu memasyarakat. Ini dibuktikan dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang kegiatan penelusuran gua.


Di daerah Sisawah ini terdapat banyak sekali gua, berbentuk vertikal dan horizontal. Kebanyakan gua itu masih terjaga dengan baik. Ini terlihat ketika Penulis menyisiri gua. Tidak ada sampah dan coretan dinding yang ditemui di Gua Kompe dan Gua Sungai Lantuang. Namun, untuk menemukan dua gua ini sedikit sulit, karena pintu masuknya (entrance), ditutupi oleh semak belukar.

Nampak dari kejauhan bukit bukit kapur berwarna putih menyembul berkilat ketika disinari cahaya matahari. Di sekelilingnya dihiasi oleh areal persawahan para petani yang membentang luas. Pemandangan yang begitu bagusnya menayambut kedatangan penulis beserta rombongan Anggota Muda dari Mapala Unand. Pemandangan alamnya di Sisawah Sawahlunto Sijunjuang ini seperti perbukitan-perbukitan di negeri Cina yang sering dilihat dalam buku-buku dan film silat.

Penelusuran pertama dilakukan penulis bersama Anggota Muda Mapala di gua Antabuang. Gua horizontal ini termasuk gua basah. Di dalamnya mengalir sebuah sungai kecil, dan bermuara di areal persawahan petani. Secara tidak langsung gua ini telah menjadi cadangan air bagi masyarakat disekitanya, terutama untuk pengairan padi di sawah. Jumlah rombongan waktu itu, sebanyak 20 orang.

Hampir seluruh peserta penelusuran waktu itu berdecak kagum melihat keindahan ornamen (hiasan) yang tersaji disepanjang lintasan gua ini. Tidak mengherankan, karena gua ini temasuk gua basah, dengan air yang mengalir di dalamnya. Rembesan air yang mengalir tersebut, melakukan pengikisan dan akhirnya membentuk bermacam-macam jenis ornamen. Beberapa ornamen yang paling sering ditemukan antara lain, berbentuk Sawahan (rimstonempol), Tirai (gordam), Tiang (pilars) serta ratusan stalaktit dan stalakmit.
Banyaknya ornamen yang ditemukan selama penelusuran, membuat waktu 100 menit yang terpakai untuk mencapai ujung dari gua ini, terasa begitu cepat dan singkat. Tapi masing masing tim sadar, ini bukanlah gua pertama dan terakhir yang akan mereka tempuh. Masih banyak lagi gua yang harus didatangi. Prioritas berikutnya adalah gua Kompe dan Sungai Lantuang. Tiga gua inilah yang menjadi target kami, selama berada di Sisawah ini. Di daerah yang ternyata menyimpan banyak sekali lorong - lorong di perut buminya.


Lorong-lorong perut bumi

Welcome to Kompe dan Sungai Lantuang!!! Begitu teriakan rombongan ketika berada di gua yang sangat eksotis ini. Kedua gua ini berjarak ± 1 km dari gua pertama, Antabuang. Sebelum melakukan penelusuran, terlebih dahulu kami mempersiapkan perlengkapan single rope tekhnic (SRT). Dengan kondisi gua yang vertikal ini, para Anggota Muda juga diberikan pengenalan sekaligus simulasi penggunaan perlengkapan SRT. Pada kedua gua vertikal ini, Gua Kompe mendapat giliran pertama kami kunjungi. Pintu guanya terletak dilereng sebuah pebukitan. Untuk mencapainya dibutuhkan waktu ± 15 menit dari kaki bukit. Karena memang jarang dikunjungi, jalan menuju gua ini harus kita buat sendiri dengan merambah semak belukar yang banyak tumbuh di perbukitan ini.

Setelah mencapai mulut gua, perjalanan dilanjutkan dengan menuruni gua tersebut. Perjalanan turun cukup menegangkan juga karena memiliki ketinggian ± 12 meter. Di bawahnya ditemukan sebuah ruangan yang sangat besar dan luas. Ketinggian langit- angit dari lantai gua ini mencapai ± 30 meter. Di atasnya bergelantungan dengan sangat indah puluhan stalaktit yang sudah mengering, sehingga kita yang sedang beristirahat di bawahnya tidak lagi dibasahi oleh rembesan air dari atap gua tersebut.

Setelah istirahat sejenak, dari ruangan besar tersebut, tim kembali bergerak turun. Perjalanan kali ini terasa lebih mendebarkan, karena sudah berada pada ruang gelap gulita. Pemasangan perlengkapan SRT dilakukan secara teliti disinari cahaya Headlam dari para peserta. Medan yang harus dilewati sepanjang ± 15 meter. Batu batuan gua yang banyak menyembul sepanjang dinding vertikal ini ternyata sangat rapuh. Beberapa kali bebatuan tersebut berguguran ketika tersentuh oleh anggota tim.

Alhamdulillah, dengan pergerakan cukup lambat dan hati-hati, tantangan ini berhasil kami lewati. Setelah itu, kami sampai pada ruangan yang cukup besar dan terdapat aliran air di dalalamnya. Aliran air ini keluar pada sebuah lorong sempit yang tidak bisa kami ikuti. Dari aliran air tersebut banyak terbentuk ornamen gua berbentuk kolam kolam kecil. Konon, air dari dalam gua ini juga menjadi sumber pengairan utama areal persawahan petani di sekitarnya. Setelah tiba disini, perjalanan pada gua Kompe berakhir. Pada bagian ujung gua ini, banyak sekali ornamen yang kami temui. Diantaranya gordam yang terus menerus dialiri air menghiasi ssebagian besar dindingnya.

Tidak terasa, ketika keluar dari dalam gua, hari sudah sore. Kami memutuskan untuk kembali ke base camp yang tidak jauh dari lokasi gua ini. Base camp yang kami tempati merupakan sebuah rumah penduduk. Rumah ini terletak agak terpisah dengan rumah penduduk lainnya--berada di kaki perbukitan gua Kompe. Salah seorang anak penghuni rumah, Deri (21) banyak memberikan informasi tentang keberadaan gua gua di daerahnya tersebut.
Hari berikutnya, kami melakukan persiapan penelusuran terakhir. Tujuan kali ini adalah gua Sungai Lantuang. Dari base camp kami harus berjalan sejauh ± 1 km. Perjalanan pada pagi hari yang cerah terasa sangat menyenangkan. Melintasi sawah para petani dan sebuah sungai berair jernih menambah indahnya suasana perjalanan kami. Tidak jauh berbeda dengan gua Kompe, gua Sungai Lantuang ini juga berada pada lereng sebuah perbukitan. Karena rimbunnya pohon di perbukitan ini, seluruh anggota tim harus menghabiskan waktu ± 1 jam, untuk menemukan mulut guanya.

Sesampinya di gua, tim kembali mempersiapkan perlengkapan SRT. Perjalanan turun pada gua ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh lokasinya yang berada tidak jauh dari mulut gua, sehingga cahaya matahari masih menerangi ruang didalamnya. Gua ini tidak terlalu panjang, setelah menuruni tebing setinggi ± 8 meter, kami langsung menemui sebuah ruangan yang tidak begitu luas.

Pada bagian pinggir, dari dinding gua ini, mengalir sebuah sungai kecil. Salah seorang diantara kami, menyinari sungai kecil tersebut. Tampak beberapa ikan kecil bergerak gerak lincah menjauhi cahaya senter kami. Semua anggota tim tampak merasa puas. Bisa kami simpulkan, gua yang berhasil kami temui di daerah ini masih terjaga habitat dan ekosistem di dalamnya. Sebelum bergerak keluar, sang fotografer kami, Arie, tidak lupa mendokumentasikan seluruh keindahan gua Sungai Lantuang ini. Begitu pula dengan gua-gua sebelumnya yang telah kami telusuri. Sebelum senja menghampiri, kami bergerak menuju base camp.

Perjalanan yang dilakukan pada gua-gua ini ternyata memberi kenangan yang tak mungkin terlupakan. Keindahan yang di temukan setiap penelusuran dilakukan, telah mengingatkan kita tentang besarnya kuasa sang pencipta. Dapat kita bayangkan bahwa gua dan seluruh ornamen di dalamnya, tercipta dalam rentang waktu yang sangat panjang dan alami, tanpa campur tangan manusia. jika semuanya itu tidak berhasil kita jaga, tentu tantangan yang berhasil kami temui sekarang ini, akan tinggal cerita, pengantar tidur bagi anak cucu generasi berikutnya.

Setelah selesai makan malam, kami melakukan briefing singkat, disaksikan oleh pemilik rumah. Malam ini terasa lebih menyenangkan. Target berhasil kami capai, dan membawa segudang pengalaman yang sangat seru untuk diceritakan pada seluruh kawan-kawan. Bagi, anak muda yang hobi berpetualang, tidak ada salahnya mencoba menyusuri gua-gua yang berada di Sisawah Kabupaten Sawahlunto Sijunjuang. Keindahan dan kenikmatan petualang bisa dirasakan saat menyusuri gua-gua dengan aliran air serta ornamen-ornamen memesona dari stalaknit.

Kamis, 04 Oktober 2012

SEKILAS TENTANG ALAT MUSIK DAN KESENIAN DI MINANGKABAU


Kesenian Minangkabau bertempatan asli di Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. bermacam-macam yang disesuaikan rupanya dari berbagai daerah bahagian di Sumatra Barat. Keelokan dan kebanyakan kesenian Minangkabau ini merupakan warisan yang dapat menyokong dan melengkapi kesenian lain yang banyak berada di Indonesia.
Kesenian-kesenian ini berupakan tari-tarian yang terdiri dari Tari Piring, Tari Randai, Tari Indang, Tari Payung, dan lain-lain. Selain itu ada kesenian pantun dan sambah-manyambah. Ada kesenian musik dengan alat musik Talempong, Saluang, Gandang Tabuik, Rebana, dll. Ada kebusanaan seronok, dan sebagainya.
Kesenian ini sudah menjalar ke daerah lain di Indonesia bahkan sampai ke Negeri Sembilan, Malaysia. Khazanah kesenian dan kebudayaan Minangkabau telah terkenal dan boleh sebati dalam suku-suku lain di Indonesia seperti Melayu, Betawi, Sunda, Jawa, dll karena perantauan dan perkawinan yang bersangat-sangat semenjak dahulu yang dianggarkan mula abad ke-15 dari Kerajaan Pagaruyung hingga termasuk ke Kerajaan Malaka.
Minangkabau memiliki alat musik khas. Alat musik ini biasanya digunakan untuk mengiringi tari-tarian.
• Alat musik tiup :
 

1.saluang,
Saluang terbuat dari bambu, kira-kira panjangnya 70 meter dan berdiameter 3 centimeter. Memiliki tiga atau empat lubang nada. Fungsinya untuk mengiringi dendang

2.bansi,
Bansi juga terbuat dari bambu. Ukurannya lebih kecil dari bahan saluang. Panjangnya sekitar 15 cm. Diameternya sekita 2 centi meter dan memiliki sampai enam lubang nada. Ujung tanpa buku disumbat dengan kayu. Pada sumbatan itu dibuat celah untuk meniup sehingga menghasilkan bunyi. Nada yang dihasilkannya sangat indah, melodius dan lagunya melankolis. Bansi juga dapa digunakan untuk mengiringi dendang dan bisa dimainkan secara instrumentalia.

3.pupuik batang padi,
Pupuik batang padi terbuat dari batang padi. Pada bagian dekat buku dibuat lidah. Lidah itu, jika ditiu akan menghasilkan celah, sehingga menimbulkan bunyi. Pada bagian ujungnya dililit dengan daun kelapa yang menyerupai terompet. Bunyinya melengking dan nada dihasilkan melalui permainan jari pada lilitan daun kelapa,
 
4.sarunai,

.sarunai terbuat dari dua potong bambu yang tidak sama besarnya. Sepotong yang kecil dapat masuk ke potongan yang lebih besar. Fungsinya sebagai penghasil nada. Alat ini memiliki empat lubang nada. Bunyinya juga melodius. Karawitan ini sudah jarang yang menggunakan. Selain juga sulit membuatnya, nada yang dihasilkan juga tidak banyak terpakai.,
 
5.pupuik tanduak,
terbuat dari tanduk kerbau yang dibersihkan. Bagian ujungnya dipotong rata dan berfungsi sebagai tempat meniup. Bentuknya mengkilat dan hitam bersih. Fungsinya lebih pada alat komunikasi. Tidak berfungsi sebagai alat pengiring nyanyi atau tari. Dahulu digunakan untuk aba-aba pada masyarakat misalnya pemberitahuan saat subuh dan magrib atau ada pengumuman dari pemuka kampung.
• Alat musik pukul :

1.talempong,
Talempong terbuat dari bambu, kayu, dan logam. Cara memainkannya ada dua macam. Pertama, dengan cara meneteng atau memegang dua atau tiga talempong. Talempong ini dinamakan Talempok Pacik. Kedua, meletakan talempong diatas standar. Talempong ini dinamakan Talempong Duduak. Talempong dapat digunakan untuk mengiringi nyanyi atau dendang dan dapat dimainkan secara instrumentalia.

2.canang, dan gong
Gong dan Canang terbuat dari logam. Ukuran gong lebih besar dari talempong, bentuknya sama dengan talempong. Canang lebih besar dari talempong dan lebih kecil dari gong. Fungsinya lebih banyak sebagai alat komunikasi ketimbang alat musik. Canang biasanya dipukul keliling kampung sebagai imbauan kepada masyarakat jika ada acara baralek atau pernikahan dan sebagainya.


3.tambur,


4.rabano,


5.indang,


6.gandang,
6.adok
Tambur, Rebana, Indang dan Adok terbuat dari kayu atau ruyung dan dipalut dengan kulit kambing. Gunanya untuk pelengkap talempong, juga dapat dimanfaatkan secara tungal. Misalnya untuk arak-arakan pada acara Tabut, Khatam Quran dan arak-arakan lainnya.
• Alat musik gesek :

rabab (satu-satunya), Rebab terbuat dari tempurung kelapa yang paling besar. Tempurung tersebut ditutup dengan kulit kambing. Batang nya dibuat dari bambu. Pada ujungnya dibuat alat peregang tali dari kayu. Antara ujung (peregang tali) dengan pangkalnya direntang dua tali melalui permukaan kulit. Diatas kulit itu dipasang kuda-kuda, sehinhha tali yang direntang itu menjadi tegang. Penggeseknya seperti penggesek biola. Adakalanya dibuat dari ekor kuda dan adakalanya dari benang nilon. Pengesek dipasang pada sebatang rotan yang dibengkokkan. Untuk mengatur nadanya digunakan tangan perebab. Rebab digunakan untuk meniringi dendang. Kadang-kadang dikombinansikan dengan saluang
kesenian lainnya yang ada disumatra barat ranah minang
SILAT

Silat adalah seni beladiri tradisional Minangkabau. Ada dua macam:

1. Pencak silat, yaitu silat yang biasa digunakan untuk tari-tarian pertunjukan. Pemainnya disebut anak silek. Pencak silat dilakukan dua orang. Gayanya seperti gerakan silat, tapi tidak untuk menciderai lawan, tetapi hanya sebagai hiburan.

2. Silat (silek), yaitu yang bertujuan untuk bela diri. Pesilat disebut pandeka. Ia punya aturan sendiri, yaitu musuah indak dicari, jikok basuo pantang diilakkan.